Pemerintah Amerika Serikat secara resmi menetapkan tarif impor sebesar 104 persen terhadap produk-produk asal Cina pada tahun 2025, tepatnya diumumkan menjelang 9 April 2025. Langkah ini memicu respons cepat dari Cina yang membalas dengan mengenakan tarif serupa terhadap barang-barang asal Amerika. Kebijakan saling balas tarif ini meningkatkan ketegangan perdagangan bilateral kedua negara dan menimbulkan kekhawatiran akan dampaknya terhadap ekonomi global, harga konsumen, pelaku usaha, serta stabilitas pasar internasional.
Keputusan penerapan tarif tinggi oleh pemerintah Amerika Serikat dilakukan melalui kebijakan perdagangan resmi yang diumumkan pada awal April 2025. Tarif ini mencakup berbagai kategori produk asal Cina dan secara efektif lebih dari dua kali lipat biaya impor sebelumnya. Tidak lama sesudahnya, pemerintah Cina melalui kementerian perdagangannya mengumumkan langkah balasan dengan mengenakan tarif serupa bagi produk-produk asal Amerika Serikat. Kebijakan saling membalas ini menandai babak baru dalam ketegangan perdagangan yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun antara dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia tersebut.
Dalam pernyataan resminya, perwakilan otoritas perdagangan Amerika Serikat menyebutkan, “Penerapan tarif ini merupakan langkah tegas untuk melindungi industri domestik Amerika dari praktik perdagangan tidak adil yang dilakukan oleh Cina dan untuk menyeimbangkan kembali hubungan dagang yang selama ini timpang.” Sementara itu, juru bicara kementerian perdagangan Cina mengutuk kebijakan tarif tersebut dan menyatakan, “Kami menentang keras tindakan sepihak Amerika yang merusak prinsip perdagangan bebas dan akan mengambil tindakan yang diperlukan untuk melindungi kepentingan nasional kami.” Pernyataan resmi kedua belah pihak ini menunjukkan ketegangan yang semakin meningkat di tengah hubungan dagang yang sudah rapuh.
Penerapan tarif 104 persen ini diperkirakan membawa sejumlah implikasi besar. Dari sisi ekonomi global, ketegangan perdagangan ini berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi, mengingat rantai pasok global antara Amerika dan Cina sangat terintegrasi. Para analis ekonomi memperingatkan bahwa kenaikan biaya impor dapat meningkatkan harga barang konsumsi di Amerika Serikat, sehingga menekan daya beli masyarakat. Di sisi lain, eksportir Cina menghadapi risiko menurunnya volume perdagangan ke pasar Amerika, yang selama ini menjadi salah satu tujuan ekspor utama. Ketidakpastian ini juga memicu volatilitas di pasar saham dan nilai tukar mata uang global.
Menurut data awal yang dihimpun dari pelaku usaha, sejumlah importir Amerika mulai menghitung ulang biaya produksi dan mempertimbangkan pengalihan pasokan dari negara lain. Sementara itu, eksportir Cina mengeluhkan potensi kerugian besar akibat menurunnya daya saing harga produk mereka di pasar Amerika. “Tarif ini jelas memberatkan dan memaksa kami mencari pasar alternatif,” ungkap salah satu eksportir elektronik asal Shenzhen. Di lain pihak, asosiasi pengusaha manufaktur Amerika menyatakan kekhawatiran bahwa tarif balasan dari Cina akan berdampak buruk pada ekspor produk pertanian dan teknologi AS ke pasar Cina yang sangat besar.
Latar belakang kebijakan ini diduga berkaitan dengan upaya proteksionisme Amerika untuk melindungi industri domestik dan menekan defisit neraca perdagangan dengan Cina. Selain itu, isu lama seperti pelanggaran hak kekayaan intelektual, subsidi industri strategis, dan praktik dumping juga menjadi alasan utama pemberlakuan tarif tinggi. Meski demikian, sejumlah pengamat menilai kebijakan saling balas tarif ini berpotensi memperkeruh hubungan diplomatik dan meningkatkan risiko ketidakstabilan ekonomi global.
Secara global, ketegangan dagang ini turut memengaruhi negara lain yang tergabung dalam rantai pasok internasional. Negara pengekspor bahan baku ke Cina dan Amerika Serikat ikut terdampak akibat penurunan permintaan. Selain itu, konsumen di kedua negara diperkirakan harus membayar lebih mahal untuk sejumlah produk impor yang terkena tarif. “Saling balas tarif ini berpotensi menjadi perang dagang yang berkepanjangan dan merugikan banyak pihak,” ujar seorang ekonom senior di Washington.
Sampai saat ini, ketegangan perdagangan Amerika Serikat dan Cina masih berlangsung. Belum ada tanda-tanda negosiasi yang dapat segera menyelesaikan perselisihan tarif ini. Pemerintah kedua negara terus memantau situasi dan membuka kemungkinan langkah-langkah lanjutan, baik berupa peningkatan tarif tambahan maupun langkah diplomatik lainnya. Pelaku pasar dan negara-negara lain di seluruh dunia diimbau untuk terus memantau perkembangan terbaru, mengingat eskalasi konflik dagang ini dapat membawa dampak signifikan terhadap perekonomian global ke depan.